25 tahun reformasi, sudahkah sesuai dengan yang kita kehendaki?
Kompas 13 Mei 2023 |
Bulan Mei 25 tahun yang lalu adalah sebuah tonggak sejarah. Transisi kekuasaan sekaligus akhir dari kediktatoran rezim penguasa. Negeri ini memasuki era reformasi. Sayangnya, harus dibayar sangat mahal. Terutama bagi para saksi sejarah, Mei 1998 adalah tragedi memilukan yang tak kan terlupakan.
Sebanyak 1.217 korban tewas mengenaskan, terdiri dari meninggal akibat senjata 1.190 orang dan akibat dibakar sebanyak 564 orang. Korban luka-luka sebanyak 91 orang. Total korban adalah 1.308 orang. Mengerikan!
Setelah 25 tahun berlalu, apakah era reformasi ini sudah memenuhi harapan kita semua? Apakah sepadan dengan ribuan korban jiwa "hanya" untuk keadaan yang seperti ini? Apakah reformasi memang benar sudah kebablasan, atau keluar dari rel?
Belum lama berselang dimulainya era reformasi, para politisi didominasi juragan media yang tentunya berharap bisa menyetir opini publik. Kini dengan arus baru kekuatan medsos, beralih dengan penggunaan buzzer, yang kemudian diplesetkan menjadi "buzzerp". Buzzer atau pendengung, yaitu orang yang dibayar untuk "mendengungkan" opini sesuai pesanan politisi tersebut.
Mereka tahu, info-info apa yang paling murahan dan bisa laku keras di pasaran. Bahkan akan jauh lebih laku dari kacang goreng ataupun CD lagu-lagu koplo bajakan sekalipun. Persetan rakyat terpecah belah, yang penting bisa meraih suara terbanyak. Masalah biaya ? Tenang. Sponsor banyak. Pengusaha tambang, pengembang, kontraktor, dan masih banyak lagi siap backup. Tentunya ada deal-deal tertentu. Tak ada makan siang gratis, bukan?
Ditengah kegalauan ini, saya cukup "terhibur" dengan tulisan Butet Kertaredjasa di kolom opini Kompas 13 Mei 2023 dengan Judul Orde"Beja". Setelah kita mengalami 32 tahun orde baru, maka saat ini layaklah dinamakan Orde "Beja" alias Jaman "Mujur". Saya melihat, ini terutama ditujukan pada generasi yang tidak mengalami masa sulit orde baru. Jangan sampai dengan kesulitan masa-masa reformasi ini kemudian mereka terpikat dan kata-kata di bak truk, "Piye kabare? Penak Jaman ku to?" Mereka tidak pernah tahu, bahwa pada masa itu, semua kritikan kepada pemerintah hanya akan dijawab dengan pentungan, gas air mata, bahkan timah panas.
Berbeda dengan masa sekarang, bahkan (sebagai contoh) jenderal polisi bintang 2 pun tidak bisa lolos dari jeratan hukum karena juga didorong oleh kekuatan media sosial. Banyak sekali lembaga-lembaga independen yang mengawasi pemerintah, yang tentunya tak akan mungkin terjadi di masa orde baru. Meski masih banyak kekurangan di era sekarang, rasanya kita tetap optimis, kita berjalan pada arah yang benar. Tentunya dengan terus membenahi banyak hal kekurangan tersebut.
Butet tidak bahas detail korban tragedi Mei 1998. Tapi yang pasti, satu nyawa pun tidak sepadan dengan apapun. Meski ini berkaitan dengan berakhirnya rezim diktator, proses hukum harus terus berjalan. Siapa yang telah bertindak keji harus mempertanggungjawabkan di pengadilan. Tak lupa, sebait doa, semoga arwah mereka ditempatkan di sisi Tuhan. Terutama korban dari para aktivis pada tragedi Trisakti, Semanggi, dan lainnya, semoga Allah menempatkan arwah mereka di tempat paling mulia di sisi Nya. Berkat perjuangan mereka, kita bisa hidup di alam kebebasan. Semoga keadilan bisa segera ditegakkan di negeri ini. Tentu kita tidak boleh membiarkan, alam demokrasi ini dikotori oleh para politisi dan pejabat korup, penguasa oligarki yang sewenang-wenang yang hanya mementingkan beberapa gelintir orang.
Referensi
Jumlah korban tragedi Mei 1998, Kata Data
Gaji Buzzer di Indonesia, Suara.com
Kolom opini Kompas 13 Mei 2023, Orde "Beja" oleh Butet Kertaredjasa
Menagih komitmen negara usut pelanggaran HAM Berat Mei 1998, KBR Sore, Spotify
Posting Komentar untuk "25 tahun reformasi, sudahkah sesuai dengan yang kita kehendaki? "