Hilangnya rasa empati, awal mengerasnya hati
Sayup-sayup masih terdengar guyonan di sosmed atau di grup-grup WA kita. Materi guyonannya masih itu-itu saja. Hanya saja settingnya mengikuti tragedi bencana yang baru terjadi. Belum lagi yang terang-terangan memposting rasa senangnya karena diketahui salah satu korban berseberangan pendapat atau kubu.
Seringkali adanya bencana, bukannya ungkapan duka cita malah dibuat guyonan atau dicari-cari kesalahan bahwa memang korban-korban itu pantas mendapatkannya. Tidak jarang, para korban malah jadi sasaran penjarahan. Hilangnya rasa empati sungguh mengerikan. Apalagi ini terjadi secara massal.
Para pembunuh berantai konon diawali dari kelainan psikologis, yaitu gagal berempati. Mereka tidak bisa turut merasakan bagaimana sakitnya saat korban dicekik, ditikam, atau dihantam berulang-ulang hingga meninggal. Pada tingkat yang sangat akut, bisa jadi muncul tokoh Westerling, Pol pot, Hitler, Ratko Mladic, dan para penjahat perang lainnya. Mereka membunuh ribuan bahkan jutaan warga sipil tanpa merasa bersalah.
Di tengah bencana, krisis, atau pandemi ini yang tak kalah mengerikan adalah degradasi moral. Alih-alih mereka terpanggil untuk berbuat sesuatu meringankan penderitaan para korban terdampak, justru mereka saling berebut untuk bisa memanfaatkan peluang untuk kepentingan pribadinya. Tak heran jika dari masyarakat model begini yang akan muncul adalah pemimpin yang berkongsi dengan para borjuis untuk ikut memeras rakyatnya yang lemah, atau yang tega memotong bansos demi memperkaya diri.
"In democracy, People get the leaders they deserve" sebuah quote terkenal yang artinya, dalam demokrasi, rakyat akan mendapatkan pemimpin yang memang pantas bagi mereka. Rakyat yang berperadaban rendah akan mendapatkan pemimpin yang berperadaban rendah pula. Karena si pemimpin juga bagian dari rakyat itu sendiri, tidak datang dari planet lain.
Kalau negeri ini masih sarat dengan para pejabat yang korup, disamping terus meneriakkan perlawanan, yang lebih penting lagi adalah menyiapkan anak-anak kita sebagai generasi penerus. Kelak, apapun profesinya, integritas moral harus dijunjung tinggi. Rasa empati indikasi kelembutan hati, yang mudah terpanggil dengan adanya penderitaan rakyat kecil. Setidaknya mampu menjadi penyemangat untuk bekerja lebih keras, lebih cerdas dan ikhlas sebagai sumbangsih dirinya meringankan beban mereka yang lemah.
Wallahu a'lam bi showab..
Posting Komentar untuk "Hilangnya rasa empati, awal mengerasnya hati"