Muktamar NU paling sadis di Cipasung, 1994.
* Copas
Saat itu Pak Harto ingin merobohkan kepemimpinan Gus Dur yang sejak 1984 menjadi Ketua Umum PBNU. Kiai Ali Maksum dan Kiai Achmad Siddiq, dua sosok pelindung Gus Dur, telah wafat beberapa tahun sebelumnya.
Pak Harto menggunakan anasir anti Gus Dur di dalam tubuh NU untuk mendongkelnya. Abu Hasan, orang dari antah berantah ini, dijadikan kuda penghela kelompok anti Gus Dur. Kiai Yusuf Hasyim, pamanda Gus Dur, justru berada di barisan yang ingin menyingkirkan keponakannya itu bersama beberapa tokoh lain.
Sebagai ketum PBNU, Gus Dur disetting agar tidak bisa bersalaman dengan Pak Harto saat pembukaan. Tak kurang nyali, KH. Munasir Ali, mantan anggota Hizbullah dan pensiunan tentara menyampaikan sambutan atas nama panitia, "Saya ini tak tahu diri, sudah tua kok masih berambisi jadi ketua panitia. Ngurusi ini-itu. Ya benar-benar tua tapi tak tahu diri dan tidak sadar diri."
Hadirin bertepuktangan, tahu jika sindiran ini ditujukan buat Pak Harto. Bagaimana reaksi penguasa Orba ini? Wah, semakin marah. Selama dua tahun, Pak Harto nggak mau mengakui dan menemui PBNU di Bina Graha, dimana lazimnya ketua ormas yang terpilih harus sowan penguasa sekadar memperkenalkan diri. Pak Harto baru bersalaman secara fisik dengan Gus Dur di Konferwil NU di PP. Zainul Hasan Genggong, 1996. Itupun setelah Gus Dur menjinakkan Pak Harto dengan cara mengajak Mbak Tutut keliling turba ke kantong-kantong massa NU. Benar, melembutkan hati ayah dengan memangku anaknya. Hahaha, cerdik juga.
Kembali ke soal muktamar 94. Di sini, militer bermain dengan "menjaga" arena muktamar NU. Sedikitnya 1500 tentara berseragam dan ratusan telik sandi hadir. Mereka juga aktif memantau persidangan demi persidangan. Sebelumnya, parade pidato dalam pembukaan muktamar didominasi menteri dan pejabat militer! Jenderal Feisal Tandjung, Pangab, memberikan sambutan bersama dengan 10 menteri! Sudah cukup? Belum. Para menteri dan pejabat datang-pergi menggunakan helikopter dan....sebelum memasuki arena menjelang pemilihan ketua, pos pemeriksaan peserta dijaga oleh militer. Di sekeliling arena, para tentara membawa panser (!) ikut "mengamankan" arena. Melihat pemandangan ini, dalam malam terakhir muktamar, Gus Dur secara berkelakar berterimakasih kepada tentara yang telah meminjamkan serdadu tambahan kepada Banser. Banyak dari orang-orang muda berbadan kekar yang berpatroli di tempat berpangsungnya acara menggunakan seragam Banser sebenarnya adalah personil militer.
Dalam putaran pertama, GD meraih 157 suara, Abu Hasan 136, Fahmi Saifuddin 17, dan Chalid Mawardi 6 suara. Suasana tegang. Karena gedung penghitungan suara dikelilingi panser dan tentara, akan sukar bagi pendukung Gus Dur meninggalkan tempat dan potensi chaos menjadi nyata. Melihat peta tak terduga ini, kaum muda NU kebingungan dan beberapa kiai sepuh menangis, mereka bahkan bermunajat agar Dia ikut campur dalam hal ini.
Ketika hasil perhitungan suara akhir menempatkan Gus Dur dengan perolehan 174 suara sedangkan Abu Hasan 142, keharuan menyeruak di ruang sidang. Di depan pintu, kaum muda NU membentuk barisan melingkar sambil menerikaakn yel-yel berbahasa Inggris: SOEHARTO HAS TO GO, SOEHARTO HAS TO GO! (Soeharto Turun! Soeharto Turun!).
Siapa di balik misi pendongkelan Gus Dur di NU, sebagaimana penyingkiran Megawati dari PDI benerapa bulan sebelumnya, ini? R. Hartono, jenderal penjilat Pak Harto, adalah di antara pihak penyokong dana pendongkelan Gus Dur. Abu Hasan yang bangkrut setelah gagal mendongkel Gus Dur, melalui pembentukan KPNU yang dijadikan PBNU tandingan hingga menggugatnya di meja hijau, kemudian mendatangi Letnam Jenderal R. Hartono untuk menagih kembali ongkos yang telah dia keluarkan. Apa jawab jenderal kelahiran Madura itu?
"Perjanjiannya kan kalau kamu berhasil mengalahkan Gus Dur. Faktanya, kamu justru yang kalah."
Tongpes sudah isi kantong Abu Hasan. Diplekoto tentara, ia kepalang tanggung mau mencari pelindung. Toh akhirnya dia mendatangi Gus Dur, meminta maaf, dan siap "aktif" kembali ke NU. Bagaimana sikap cucu pendiri NU itu? Dengan sikap ksatria dan mengayomi, Gus Dur malah mengajak Abu Hasan keliling turba ke Jawa dan luar Jawa. Ia menyeimbangkan kekuatan internal dengan menggunakan Abu Hasan dan konsolidasi eksternal melalui tangan Mbak Tutut. Cerdik sekali!
WAllahu A'lam
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Saat itu Pak Harto ingin merobohkan kepemimpinan Gus Dur yang sejak 1984 menjadi Ketua Umum PBNU. Kiai Ali Maksum dan Kiai Achmad Siddiq, dua sosok pelindung Gus Dur, telah wafat beberapa tahun sebelumnya.
Pak Harto menggunakan anasir anti Gus Dur di dalam tubuh NU untuk mendongkelnya. Abu Hasan, orang dari antah berantah ini, dijadikan kuda penghela kelompok anti Gus Dur. Kiai Yusuf Hasyim, pamanda Gus Dur, justru berada di barisan yang ingin menyingkirkan keponakannya itu bersama beberapa tokoh lain.
Sebagai ketum PBNU, Gus Dur disetting agar tidak bisa bersalaman dengan Pak Harto saat pembukaan. Tak kurang nyali, KH. Munasir Ali, mantan anggota Hizbullah dan pensiunan tentara menyampaikan sambutan atas nama panitia, "Saya ini tak tahu diri, sudah tua kok masih berambisi jadi ketua panitia. Ngurusi ini-itu. Ya benar-benar tua tapi tak tahu diri dan tidak sadar diri."
Hadirin bertepuktangan, tahu jika sindiran ini ditujukan buat Pak Harto. Bagaimana reaksi penguasa Orba ini? Wah, semakin marah. Selama dua tahun, Pak Harto nggak mau mengakui dan menemui PBNU di Bina Graha, dimana lazimnya ketua ormas yang terpilih harus sowan penguasa sekadar memperkenalkan diri. Pak Harto baru bersalaman secara fisik dengan Gus Dur di Konferwil NU di PP. Zainul Hasan Genggong, 1996. Itupun setelah Gus Dur menjinakkan Pak Harto dengan cara mengajak Mbak Tutut keliling turba ke kantong-kantong massa NU. Benar, melembutkan hati ayah dengan memangku anaknya. Hahaha, cerdik juga.
Kembali ke soal muktamar 94. Di sini, militer bermain dengan "menjaga" arena muktamar NU. Sedikitnya 1500 tentara berseragam dan ratusan telik sandi hadir. Mereka juga aktif memantau persidangan demi persidangan. Sebelumnya, parade pidato dalam pembukaan muktamar didominasi menteri dan pejabat militer! Jenderal Feisal Tandjung, Pangab, memberikan sambutan bersama dengan 10 menteri! Sudah cukup? Belum. Para menteri dan pejabat datang-pergi menggunakan helikopter dan....sebelum memasuki arena menjelang pemilihan ketua, pos pemeriksaan peserta dijaga oleh militer. Di sekeliling arena, para tentara membawa panser (!) ikut "mengamankan" arena. Melihat pemandangan ini, dalam malam terakhir muktamar, Gus Dur secara berkelakar berterimakasih kepada tentara yang telah meminjamkan serdadu tambahan kepada Banser. Banyak dari orang-orang muda berbadan kekar yang berpatroli di tempat berpangsungnya acara menggunakan seragam Banser sebenarnya adalah personil militer.
Dalam putaran pertama, GD meraih 157 suara, Abu Hasan 136, Fahmi Saifuddin 17, dan Chalid Mawardi 6 suara. Suasana tegang. Karena gedung penghitungan suara dikelilingi panser dan tentara, akan sukar bagi pendukung Gus Dur meninggalkan tempat dan potensi chaos menjadi nyata. Melihat peta tak terduga ini, kaum muda NU kebingungan dan beberapa kiai sepuh menangis, mereka bahkan bermunajat agar Dia ikut campur dalam hal ini.
Ketika hasil perhitungan suara akhir menempatkan Gus Dur dengan perolehan 174 suara sedangkan Abu Hasan 142, keharuan menyeruak di ruang sidang. Di depan pintu, kaum muda NU membentuk barisan melingkar sambil menerikaakn yel-yel berbahasa Inggris: SOEHARTO HAS TO GO, SOEHARTO HAS TO GO! (Soeharto Turun! Soeharto Turun!).
Siapa di balik misi pendongkelan Gus Dur di NU, sebagaimana penyingkiran Megawati dari PDI benerapa bulan sebelumnya, ini? R. Hartono, jenderal penjilat Pak Harto, adalah di antara pihak penyokong dana pendongkelan Gus Dur. Abu Hasan yang bangkrut setelah gagal mendongkel Gus Dur, melalui pembentukan KPNU yang dijadikan PBNU tandingan hingga menggugatnya di meja hijau, kemudian mendatangi Letnam Jenderal R. Hartono untuk menagih kembali ongkos yang telah dia keluarkan. Apa jawab jenderal kelahiran Madura itu?
"Perjanjiannya kan kalau kamu berhasil mengalahkan Gus Dur. Faktanya, kamu justru yang kalah."
Tongpes sudah isi kantong Abu Hasan. Diplekoto tentara, ia kepalang tanggung mau mencari pelindung. Toh akhirnya dia mendatangi Gus Dur, meminta maaf, dan siap "aktif" kembali ke NU. Bagaimana sikap cucu pendiri NU itu? Dengan sikap ksatria dan mengayomi, Gus Dur malah mengajak Abu Hasan keliling turba ke Jawa dan luar Jawa. Ia menyeimbangkan kekuatan internal dengan menggunakan Abu Hasan dan konsolidasi eksternal melalui tangan Mbak Tutut. Cerdik sekali!
WAllahu A'lam
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Posting Komentar untuk "Muktamar NU paling sadis di Cipasung, 1994."